Bukan di Pelepah Korma

Di sebuah kesempatan, saya juga tidak ingat persis apa dan siapa, ada yang bilang bahwa kalau seorang penulis sedang muncul idenya maka dia akan meninggalkan aktivitas yang sedang dia lakukan saat itu untuk menulis. Ya..mungkin tidak terlalu ekstrem juga, waktu itu saya diberi contoh aktivitasnya adalah rapat. Karena, kalau tidak ditunaikan saat itu juga, nanti moodnya hilang dan jadi lebih sulit untuk dituangkan.

Pada akhirnya saya bisa memahami betul hal ini, karena saya juga merasakannya. Memang sih, saya bukan penulis buku atau cerita fiksi, saya cuma penulis buku harian (yang udah berbulan-bulan bahkan tahun tidak ditulisi lagi), blog pribadi, atau buku catatan kuliah (ini mah gabisa disebut menulis yak? Hehe). Saya khususkan pada blog saja. Untuk membuat tulisan di blog seringkali juga begitu, perlu ide dan mood yang tidak setiap saat muncul.

Bang shofwan pernah memberi saran, waktu dia ngisi training di tentang penulisan artikel di kampus, bahwa kita sebaiknya punya kantong ide. Bisa jadi semacam buku kecil tempat kita menuliskan ide-ide yang tiba-tiba mencuat. Seingat saya, trainingnya sudah lama sekali, tidak mesti jadi langsung tulisan rapi tapi cukup ide besarnya saja yang dituliskan, atau sampai kerangka tulisannya. Waktu dengar saran ini, saya jadi teringat Han Zhi En di serial full house, penulis novel yang punya recorder (dan akhirnya tertinggal di kereta sehari setelah dihadiahkan Yong Zhai) untuk merekam ide yang dia lafalkan. Menarik.

Karena saya bukan orang yang online 24 jam sehari, tidak punya akses internet pribadi (dulu), dan ide seringkali muncul dimana saja, maka saya juga punya kantong ide. Sebuah buku tulis biasa yang hampir selalu saya bawa kemana saja. Kenapa memilih buku tulis? karena relatif lebih mudah digunakan dibanding pelepah korma, hehe. Ya..menurut saya itu lebih mudah dijangkau, saya bisa membacanya lagi untuk diedit di berbagai kesempatan, pokoknya simple lah. Namun itupun masih terbatas juga, karena seringkali ide saya muncul saat sedang berkendara, mungkin karena pada saat itulah saya sering mikir melanglangbuana. Sebenernya biasanya saya baca al ma’tsurat dalam hati, cuma sering banget baru sampe setengah (bahkan sepertiga) tiba-tiba terdistraksi, lupa, terus mikir lagi, hiks.

Kadang, momen tertentu juga menghasilkan ide untuk membuat sebuah tulisan, ini sih biasanya cerita pengalaman atau curhat. Kalau kasusnya begini, buat saya, tidak hanya perlu segera dituliskan, tapi juga di publish, karena kalau ditunda nanti jadi “adem”, “anyep”, bahkan basi. Biasanya kalau saya mending tidak usah ditulis, lupakan saja. Ini kaya cerita buka bersama pemikirulung versi ai. Katanya anak itu mau bikin 3 tulisan, cuma berhubung romadhon kemarin dia cuti ngempi, kayanya akhirnya gajadi ditulis karena kalau ba’da ramadhan udah ga seru lagi buat diceritain (ya bukan i?)

Ada satu hal lagi sebenarnya. Meskipun dari tadi saya bilang ide yang tiba-tiba muncul, mood, momen, sebenernya itu semua bukan hal yang mutlak diperlukan, karena ada 1 hal lagi, yakni pemaksaan. Di sebuah buku tentang pengembangan diri yang saya baca, (ah, mau ngutip tapi bukunya saya cari-cari ko ga ketemu, jadi saya tulis sebatas yang saya ingat saja ya) dituliskan pentingnya sebuah usaha, dan dicontohkanlah dalam hal menulis, jika anda ingin menulis dan tidak punya ide, maka yang anda harus lakukan bukanlah menunggu kapan ide itu muncul tapi ambillah pulpen dan kertas kemudian tulislah apa saja, teruslah menulis, dan ide itu akan keluar dengan sendirinya.

Omong-omong tentang semua ini, sebenernya tulisan yang sedang anda baca ini mewakili hampir semua yang tadi saya sebutkan. Karena tulisan ini punya kisah yang dimulai sekitar sepekan yang lalu. Saat itu tiba-tiba saya punya sesuatu yang ingin saya tuliskan, idenya berloncat-loncatan di kepala saya, dan seperti biasa, segera tersusun beberapa paragraph di dalam kepala, tapi kemudian aktivitas komen dan me-reply komen terus mendistraksi saya, sampai akhirnya mood saya hilang untuk menuliskannya, sulit untuk menyusun kata-kata yang tadinya sudah tersusun itu.

Momen ada, tapi mood hilang. Akibatnya malah ada ide untuk menuliskan hal ini, dan langsung saya tuliskan. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, sesuatu yang buruk terjadi pada fasilitas berinternet saya, 3 paragraf yang saya sudah ketik dan dengan segera saya simpan di draft ternyata tidak terselamatkan, hilang semua. Dan pagi ini saya melakukan kunci ketiga, yakni pemaksaan. Saya akhirnya memaksakan diri untuk menulisnya dari awal, meksipun pasti beda redaksinya dengan yang sudah saya buat dulu, entah yang mana yang lebih baik, yang penting jadi menulis.

Tapi biarlah, setidaknya saya tidak ingin berlama-lama untuk tidak menulis, karena kalau sudah terlanjur tertidur pulas akan lebih sulit untuk dibangunkan. Meskipun saya juga sudah merelakan momen-momen sehari-hari di ruang rawat neurologi hanya berada di ruang memori saya, yang saya juga tidak tahu apakah akan tersimpan di memori jangka panjang atau jangka pendek saja, tidak saya abadikan dalam sebuah tulisan (map ya nis, masih ada ruangan lain ko)

~udah selesai ditulis dari jam 11 lewat, gara-gara “alat” ini lagi-lagi ngajak berantem, yah baru sekarang dia mau berdamai

28 thoughts on “Bukan di Pelepah Korma

  1. iyalah..kalo mirip pohon apa aku tahu..sayang ga berbuah..ah jadi inget maryam juga, yang menggoyang pohon kurma setelah melahirkankalo liat onta, jadi inget ka iman, untungnya aku amatsangatjarangsekali liat onta 😀

Leave a reply to Pemikir Ulung Cancel reply