Memanisi Kegetiran

Kemarin malam saya sempat merasa kesal, karena sebuah hal sederhana mungkin. Saya sedang mengobrol dengan seorang kawan, tapi di tengah pembicaraan kami itu, teman saya berkomunikasi dengan teman saya yang lain, dan jadilah mereka berdua mengobrol, memotong pembicaraan yang telah sebelumnya saya bangun. Mereka mengobrol dengan memotong, meninggalkan saya yang terabaikan padahal sedang menunggu kelanjutan pembicaraan. Sayapun berdiri dan beranjak pergi, sambil bilang bahwa saya tidak suka obrolan saya diserobot begitu.

Marilah kita tak usah bahas kenapa saya sekeras itu. Saya memang sedang galak malam itu. Tapi yang menarik adalah tanggapan teman saya, ketika saya minta maaf atas kekuranglapangdada-an saya tadi. “maaf ya kalo gw tadi galak, soalnya gw ga suka lagi ngobrol dipotong begitu”. Teman saya jawab “ga papa, tidak ada ko yang suka diperlakukan begitu. Tapi kamu harus siap, kamu akan menemui banyak kejadian seperti itu nanti.”

Well, pesannya sederhana, dan anda semua pasti sudah tahu dari dulu, saya juga. Tapi saya suka diingatkan kembali, bahwa dalam hidup ini, adalah keniscayaan kita menemui banyak sekali hal yang tidak kita suka, kita mendapati pertentangan dari apa yang kita inginkan.

Paginya saya menemukan kejadian serupa tapi tidak sama. Saya mengobrol dengan teman, dan di tengah obrolan saya menanggapinya dengan sebuah kalimat yang memang sudah sangat biasa. Saya cuma bilang “manusia kan memang punya jalan hidupnya masing-masing”. Lalu apa yang saya dapatkan? Teman saya dengan tak saya duganya bilang “pengen gw tampar rasanya lo ngomong kaya gitu”.

Kaget dan tidak suka saya ditanggapi kasar begitu. Ini kali pertama ada teman bilang begitu ke saya. Tapi saya tetap mencoba memahaminya kenapa sampai pernyataan itu terlontar. Saya tanya alasannya, kenapa sampai pengen tampar segala. Dia bilang dia bosan dengan kalimat saya itu, dia sudah “muak” mendengar kata-kata itu lagi-lagi diucapkan orang. “banyak banget orang yang ngomong begitu Di”.

Satu persamaan yang ada dari dua kasus tadi adalah kejadian bertemunya hal yang tidak disuka. Kasus pertama dengan “pemotongan”, kasus kedua dengan “terulang-ulangnya sebuah nasihat”. Penyikapan keduanya pun sama, yaitu dengan menunjukkan bahwa “gw ga suka dengan itu”, hanya teknik penunjukannya saja yang beda.

Saya kembali teringat dengan kata-kata teman saya, bahwa kita harus siap untuk bertemu dengan hal yang tidak kita suka dalam kehidupan, karena pasti akan banyak, banyak sekali. Hidup kita memang begitu bukan? Senantiasa dihadapkan dengan ujian, cobaan, dan tantangan. Senantiasa dipertemukan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, yang tidak disukai, yang terasa berat bagi kita. Jadi kalau memang masih mau melanjutkan hidup, ya harus siap. Dengan memahami bahwa bertemu dengan hal yang tidak disuka adalah sebuah keniscayaan akan membuat kita bersiap, dan dengan bersiap kita bisa menyikapinya dengan lebih baik.

Menyikapi hal-hal yang tidak kita sukai adalah bagian dari seni menjalani hidup. Bagian dari kedewasaan, menurut saya. Apa yang akan kita lakukan? Dan dari dua kasus tadi saya belajar satu hal, haruskah ketidaksukaan kita ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang akhirnya juga membuat ketidaksukaan orang lain? Haruskah kita yang sedang terluka lantas mengamuk dan ikut membuat orang lain luka karenanya? Seperti saya yang berdiri dan “mutung” sambil bilang kalau saya tidak suka atau seperti kawan saya yang dengan (menurut saya) kasar bilang ingin menampar lawan bicaranya.

Saya menghubungkannya dengan kata-kata di sebuah buku yang sedang saya baca (lagi). Disana tertulis, “layaknya menahan marah, padahal bisa dan berhak menumpahkannya, begitu pula soal menahan diri untuk tidak menjadi penyebab orang lain menjadi pedih dan getir. Tidak saja untuk sebuah konsistensi di atas jalan yang ditetapkan, tapi juga sebentuk seni memperindah kehidupan dan merajut kebersamaan”.

Ya, saya memang menghubungkannya dengan perihal tidak membuat orang lain pedih dan getir. Salah satu penyikapan kita terhadap ketidaksukaan kita, adalah dengan tidak membuat orang lain jadi merasa tidak suka juga. Kenapa harus memilih agresif ketika pilihan asertif masih terbuka? Kenapa memilih menggalaki orang lain kalau bisa menyampaikannya dengan lebih “manis”?

15 thoughts on “Memanisi Kegetiran

  1. you know what, ludi?ini ngepas termasuk hal yang sedang kupikirin loh….simple things yang kadang membuat ketidaksukaan itu muncul…*hufh sedang sulit nih untuk menetralisasi emosi agar tidak sembarang tidak suka, apalagi gegara satu dua patah kalimat

Leave a reply to Salman Rafan Ghazi Cancel reply